Fenomena “Dagadu Aseli Djogdja” Suatu Resistensi ataukah Akulturasi Budaya Lokal Terhadap Budaya Global?

Kota Djogjakarta atau Ngayogyakarto Hadiningrat, sebuah kota budaya dan kota pariwisata di Indonesia yang sangat fenomenal, ketika setiap orang menyebut kota gudeg ini, pastilah akan langsung membelalakkan mata dan menggetarkan hati orang yang mendengarnya. Tentu saja, setiap orang berkeinginan untuk menapakkan kaki di kota yang notabene juga disebut-sebut sebagai kota yang penduduknya berhati nyaman ini. Ketika kita jalan-jalan ke jogja, pasti tak akan pernah lupa untuk memborong cinderamata kreativitas khas anak-anak dan mahasiswa jogja, so.. siapa sich yang ga’ kenal dengan produk dagadu Aseli djogja, oblong wujud kreativitas dan identitas jogja yang sebenarnya.

Taukah anda bahwa sejarah dagadu sebenarnya berawal dari acara iseng-iseng 25 mahasiswa arsitektur UGM yang telah membidani kelahiran Dagadu Djogja ini, hal itu tak lain karena mereka sama-sama tertarik pada bidang kepariwisataan, perkotaan dan tentu saja rancang grafis. Awalnya, mereka mendapat tawaran untuk membuka kios kaki lima di Malioboro Mall yang dibuka pada awal tahun 1994. Mereka kemudian berembug dan patungan sesuai kemampuan kantong mahasiswa. Dan dengan modal yang cukup pas-pasan itulah mereka nekat memproduksi cinderamata alternatif Djokdja yang berupa oblong, gantungan kunci, gambar tempel, dan pernak-pernik lainnya. Pilihan nama Dagadu bermula dari salah seorang di antara mereka yang mengumpat dalam bahasa slang Djokdja : dagadu! (baca: matamu). Umpatan itulah yang memberi inspirasi nama merk dagang produk cinderamata mereka sesaat sebelum mereka berjualan. Akhirnya, dagadu resmi menjadi merk produk cinderamata alternatif yang dijual di Malioboro Mall ini. Untuk menunjukkan lokalitas dari mana cinderamata itu berasal, ditambahilah kata Djokdja setelah Dagadu. Sementara itu pemakaian ejaan lama pada kata Djokdja dimaksudkan untuk memberi muatan nilai historis kota Jogjakarta. Sejak awal kelahirannya, Dagadu Djokdja sudah memposisikan diri sebagai produk cinderamata alternatif dari Djokdja. Sebuah cinderamata, tentu saja akan mengeksplorasi semangat dan khasanah budaya lokal. Selain praktis dan ringan sebagai syarat fungsionalnya, cinderamata juga harus menjadi benda kenangan. Dengan kata lain, selalu ada cerita dibaliknya, ada keunikan yang dibawanya. Djokdja selalu menjadi tema sentral produk Dagadu Djokdja. Everything about Djokdja. Ya tentang artefaknya, bahasanya, kultur kehidupannya, maupun peristiwa keseharian yang terjadi di dalamnya.

Seorang cerpenis dan budayawan, Seno Gumira Ajidarma mengatakan bahwa Perbincangan tentang Dagadu mencakup sejumlah aspek. Pertama, tentu kata dagadu itu sendiri, yang merupakan fenomena budaya menarik, karena merupakan bagian dari politik bahasa kaum paria yang menyeruak, yang pada gilirannya menjadi tandingan serius budaya adiluhung dalam pasar bebas ideologi. Kedua, Dagadu merupakan bagian dari kebudayaan pop: kaos oblong, desain, dan pasar. Seperti semua produk komoditas lain, Dagadu bergulat dengan ide-ide untuk dijual, dan menghadapi persoalan-persoalan pasar. Ketiga, bahwa Dagadu dengan sadar menempatkan dirinya sebagai bagian dari Djokdja, sebagai kota maupun sebagai atmosfir budaya yang belakangan ini membuat produk Dagadu menjadi unik, bahkan kemudian memberi karakter kepada pertumbuhan Djokdja.
Jika kita mulai menilik kedalam secara lebih detail lagi, maka akan muncul banyak pertanyaan dalam otak kita, mampukah produk Dagadu Aseli Djogdja tersebut tetap mempertahankan eksistensi budaya lokal Yogyakarta dari maraknya budaya global masa kini? Dan mampukah produk Dagadu Aseli Djogdja bersaing dengan trand produk budaya global? Why not, pada kenyataannya dagadu dapat bersaing dengan produk-produk yang ditawarkan oleh pasar global. Sampai saat ini dimana globalisasi budaya telah semakin akrab dan memasuki dunia keseharian rakyat Indonesia, tetapi setiap wisatawan yang burkunjung ke Yogyakarta, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara masih tetap pergi ke Malioboro dan mencari produk Dagadu Aseli Djogdja di Malioboro Mall sebagai trand dan cinderamata paling top dari Yogyakarta. Bahkan wisatawan yang berkunjung ke Borobudur di Magelang pun tetap mencari Dagadu Aseli Djogdja ke Malioboro Mall, karena mereka tau bahwa produk Dagadu yang dijual di Borobudur belum terjamin keasliannya. Fenomena ini adalah wujud bahwa budaya lokal mampu bersaing dengan budaya global yang semakin digandrungi oleh masyarakat kita, khususnya masyarakat Yogyakarta.

Kita semakin was-was bahwa atribut budaya lokal seolah-olah terancam akibat budaya global seperti masuknya berbagai komoditas global, misalnya life style para remaja yang semakin condong pada apa yang telah disajikan oleh produk global. Keadaan ini justru akan merubah kita yang tanpa disengaja telah melahirkan berbagai interpretasi atas diri dan perilaku kita. Dalam pada itu, situasi dan kondisi dimana budaya lokal akan dipertaruhkan di tengah kancah kebudayaan global sepertinya melahirkan kontroversi dan paradigma yang berbeda dalam memandang budaya global itu. Sebagian tidak menginginkan adanya perubahan dalam kelokalan budayanya dan tanpa disadari tindakan yang dilakukan telah merubah keaslian kebudayaan itu. Justru dengan begitu, kita dapat memaknai bahwa perubahan itu akan senantiasa terjadi dan tanpa kita sadari akan meresapi diri kita dan masuk ke dalam pola perilaku dan tindakan kita. Oleh karenanya, kebudayaan akan semakin mantap, bertahan dan lestari. Pertanyaan terakhir adalah menyangkut kita sebagai pemuja kebudayaan (idols of culture) kita. Adakah kita berupaya memajukan kebudayaan kita itu, atau malah membiarkan budaya kita itu terlindas oleh budaya global? Dan sampai sejauh manakah pengakuan kita terhadap kebudayaan kita itu? Oleh karenanya, penting dilakukan kembali kaji ulang terhadap kepribadian kita yakni bukan secara langsung melontarkan bahwa kebudayaan kita itu adalah tidak maju, tidak modern, miskin dan terbelakang. Jika demikian yang terjadi maka kebudayaan kita itu akan mengalami pendangkalan makna akibat erosi pemerkayaan dan pemajuan budaya lokal itu. Semua ini adalah bukti bahwa budaya lokal bisa tetap bertahan tetapi jarang sekali yang bisa lepas dari akulturasi budaya global, ini bukanlah masalah asalkan akulturasi tersebut tidak merusak dan menghilangkan nilai-nilai keaslian dari budaya lokal itu sendiri. Seperti adanya budaya pop (kaos oblong dan desain) yang menjadi backround dalam pembuatan kaos Dagadu Aseli Djogdja tersebut toh tetap tidak menghilangkan unsur tradisional dan budaya lokal Yogyakarta. So, globalisasi tak dapat di tolak, tetapi kita harus pandai-pandai dalam memfilter mana yang akan kita serap dalam kehidupan kita sehari-hari dan mana yang akan kita tinggalkan. (yushfa)

sumber:  http://yushfa-hiers.blog.friendster.com/